head silvikultur


 


Perlakuan Awal Dormansi Fisik

Kebanyakan jenis dari famili leguminosae menunjukkan dormansi fisik, yang disebabkan oleh struktur morfologis dari kulit biji yang rumit. Kondisi kedap air kulit biji  legum relatif  dalam arti bahwa bermacam-macam jenis, bermacam-macam tingkatan kemasakan dan bermacam-macam individu dalam lot benih homogen menunjukkan tingkat  ketahanan terhadap penyerapan air (imbibisi) yang berbeda.
Strutur kulit biji tersebut terdiri dari 4 lapisan yang sangat berbeda, yaitu:

  1. Kuticula adalah lapisan yang paling luar yang berlilin yang bersifat menolak air.
  2. Macrosclereids atau lapisan palisade yang terdiri dari sel-sel bentuk panjang, sempit,  terbungkus rapat,  vertikal.
  3. Osteosclereids yaitu lapisan yang terdiri dari sekelompok sel yang terbungkus longgar.
  4. Lapisan parenchyma yang tersusun oleh lapisan sel yang sedikit terdifrensiasi.

Impermeabilitas ditentukan oleh dua lapisan luar, sekali lapisan-lapisan tersebuat dapat tembus air, benih dapat mudah menyerapnya. Ketebalan kulit biji dan ketebalan masing-masing  lapisan berfariasi menurut jenis (Del, 1980 dalam Schmidt 2002). Karena benih kehilangan air selama proses memasakan, sel-sel palisade dari kulit biji menjadi impermeable.

Perlakuan awal adalah perlakuan sebelum penaburan untuk menambah kecepatan dan keseragaman perkecambahan benih yang ditabur di persemaian, lapangan atau untuk pengujian. Perlakuan awal semata-mata mempercepat proses alami pemecahan dormansi.

Dormansi fisik disebabkan oleh kulit buah yang keras dan impermeable atau penutup buah yang menghalangi imbibisi dan pertukaran gas. Fenomena ini sering disebut sebagai benih keras, istilah yang biasanya digunakan untuk benih leguminosae yang kedap air. Dormansi tipe ini adalah yang paling banyak ditemukan didaerah tropis. Karena struktur buahnya, sifat dormansi  fisik untuk semua jenis sama dan perlukuan awal yang sama dapat diberikan. Tetapi karena perbedaan anatomi antara kulit biji atau pericarp, maka sifat dari perlakuan awal mungkin berbeda. Bebagai macam metode telah dikembangkan untuk mengatasi tipe dormansi ini, semua metode menggunakan perinsip yang sama yakni melubangi biji sedemikian rupa sehingga air dapat masuk dan penyerapan dapat berlangsung.

Perlakuan awal terhadap berbagai jenis harus disesuaikan dengan tingkat dormansi fisik.

a. Skarifikasi

Skarifikasi manual kulit biji melalui penusukan, pengoresan, pemecahan, pengikiran atau pembakaran, dengan bantuan pisau, jarum, kikir, kertas gosok, atau lainnya adalah cara yang paling efektif untuk  mengatasi dormansi fisik. Karena setiap benih ditangani secara manual, dapat diberikan  perlakuan individu sesuai dengan ketebalan biji. Pada hakekatnya semua benih dibuat permeabel dengan resiko kerusakan yang kecil, asal daerah radikel tidak rusak.
Seluruh permukaan kulit biji dapat dijadikan titik penyerapan air. Pada benih legum, lapisan sel palisade dari kulit biji menyerap air dan proses pelunakan menyebar dari titik ini keseluruh permukan kulit biji dalam beberapa jam. Pada saat yang sama embrio menyerap air. Skarifikasi manual efektif pada seluruh permukaan kulit biji, tetapi daerah microphylar dimana terdapat radicle, harus dihindari. Kerusakan pada daerah ini  dapat merusak benih, sedangkan kerusakan pada kotiledon tidak akan mempengaruhi perkecambahan (Kremer, 1990).

b. Air Panas

Air panas mematahkan dormansi fisik pada leguminosae melalui teganganyang menyebabkan pecahnya lapisan macrosclereids (Brant et. al, 1971). Metode ini paling efektif  bila benih direndam dengan air panas. Pencelupan sesaat juga lebih baik untuk mencegah kerusakan pada embrio karena bila perendaman paling lama, panas yang diteruskan kedalam embrio  sehingga dapat menyebabkan kerusakan. Suhu tinggi dapat merusak benih dengan kulit tipis, jadi kepekaan terhadap suhu berfariasi tiap jenis. Umumnya benih kering yang masak atau kulit bijinya relatif tebal toleran terhadap perendaman sesaat dalam air mendidih.

Percobaan pada Casia siamea di Thailand, menunjukkan bahwa  perendaman selama (1 sd 2) menit dalam air hangat 85oC atau perendaman pada suhu air 85°C yang diikuti dengan  pendinginan selama  (12 sd 36) jam  menghasilkan persen kecambah antara (82 sd 89) persen, sedangkan perendaman lebih lama pada suhu 85°C sedikit menurunkan persen kecambah. Untuk jenis ini perendaman sesaat pada suhu yang tinggi atau  perendaman pada suhu 85oC dalam waktu yang lebih lama dapat menyebabkan kerusakan (Kombo and Hellum, 1984 dalam Schmidt 2002).

c. Perlakuan dengan Larutan Asam

Larutan asam untuk perlakuan ini adalah asam sulfat pekat (H2SO4) asam ini menyebabkan kerusakan pada kulit biji dan dapat diterapkan pada legum maupun non legum. Tetapi metode ini  tidak sesuai untuk benih yang mudah sekali menjadi permeable,  karena asam akan merusak embrio. Lamanya perlakuan larutan asam harus memperhatikan 2 hal, yaitu:
1). kulit biji atau pericarp yang dapat diretakkan untuk memungkinkan imbibisi.
2). larutan asam tidak mengenai embrio.

Pada Casia siamea, (Kombo and Hellum, 1984 dalam Schmidt 2002) menemukan bahwa  perendaman selama (15 sd 45) menit dalam larutan asam sulfat pekat (95 persen), menghasilkan perkecambahan 98 persen sedangkan perendaman  (1 sd 10) menit terlalu cepat untuk  mematahkan dormansi, sedangkan perendaman   selama  60 menit atau lebih dapat menyebabkan kerusakan.

Perlakuan asam pada Enterolobiom cyclocarpum selama 15 menit terbukti efektif, sedangkan lebih lama  (20 sd 25) menit memberikan hasil yang kurang baik (Barahman, 1996). Suginingsih, 1989 meneliti pengaruh perlakuan awal terhadap perkecambahan benih Aleurites moluccana Willd, dari hasil penelitian  ini diperoleh hasil bahwa perendaman dengan  larutan asam (H2SO4 ) selama 10 menit  dengan konsentrasi 25 persen adalah yang paling baik dengan menghasilkan perkecambahan sebesar 76 persen sedangkan perendaman dengan konsentrasi 75 persen sama sekali benih tidak tumbuh.



Copyright © silvikultur.com 2016